Idealnya sebuah keluarga dipenuhi kehangatan, kasih sayang, hormati-menghormati , dan saling melindungi. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga harmonis, dalam keluarga utuh dan dalam keluarga yang bahagia maka akan bahagia, dan nyaman hidupnya dengan kepribadian yang sehat. Lain halnya dengan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga broken home atau keluarga pecah dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis, dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir dengan perceraian. Keluarga pecah (broken home) dapat dilihat dari dua aspek: (1) keluarga terpecah karena struktur yang tidak utuh, yakni salah satu dari kepala keluarga itu meninggal atau bercerai, (2) ayah atau ibu sering tidak di rumah, dan atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi. Misalnya orang tua sering bertengkar sehingga keluarga itu tidak sehat secara psikologis. Menurut Save M Degum, broken home adalah kurangnya perhatian dari keluarga, kurangnya kasih sayang dari orang tua atau keluarga yang orangtuanya memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Dengan demikian akan lahir anak-anak yang mengalami krisis kepribadian sehingga perilakunya sering tidak sesuai. Broken home mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perkembangan kejiwaan anak. Apalagi broken home yang disertai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tidak sedikit peristiwa anak-anak yang menjadi korban dari KDRT. Dalam broken home orangtua yang sering bertengkar seringkali melampiaskan kemarahan pada anak.
Banyaknya anak-anak yang menyaksikan, dan mengalami KDRT dalam berbagi perilaku yang dilakukan dengan menyakiti atau mencedai anggota keluarga. Kekerasan dalam bentuk apapun yang dilakukan orangtua terhadap anak akan mengakibatkan anak tumbuh menjadi anak yang mengalami gangguan pribadi. Broken home tersebut, akan membuat mental dan pola pikir anak terganggu baik dilingkungan rumah maupun proses pembelajaran di sekolah. Misal di sekolah menjadi gunjingan teman-temannya, proses belajar pun terganggu karena pikirannnya tidak kosentrasi, sehingga tidak mau hadir di sekolah, atau tidak maksimal dalam menerima materi. Kesimpulannya, anak yang menuju remaja sedang mencari jati diri, tentunya diperlukan peranan orangtua, serta pengawasan ketat dari sekolah sehingga menjadi kunci keberhasilan pencegahan kenakalan remaja baik sebagai broken home maupun akibat hal lainnya.
Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan KB
Jalan Singosari No.02-Mataram Telp.(0370)634800